Pada umumya nilai-nilai yang ada akan berfungsi
sebagai landasan berfikir dan berbuat. Nilai-nilai ini mungkin berasal dari
pelatihan dan pengalaman kerja yang sama, pembudayaan dari teori-teori atau karakteristik
pribadi orang yang tertarik terhadap Teknologi Pembelajaran . Secara khusus,
nilai-nilai yang mempengaruhi terhadap perkembangan Teknologi Pembelajaran,
yaitu : (a) replikabilitas pembelajaran; (b) individualisasi; (c) efisiensi;
(d) penggeneralisasian proses isi lintas; (e) perencanaan terinci; (f) analisis
dan spesifikasi; (g) kekuatan visual; (h) pemanfaatan pembelajaran bermedia.
Konsep paradigma alternatif dalam menemukan
pengetahuan baru-baru ini telah menjadi fokus utama dalam berbagai disiplin
ilmu. Dalam perpektif ilmiah, paradigma alternatif ini memiliki kecenderungan
untuk menerima metodologi penelitian kualitatif, penelitian fenomenologis dan
gerakan ke arah psikologi kontruktivis. Teknologi pembelajaran juga merasakan
pengaruh ini, sebagai contoh Striebel (1991) mengemukakan pendapatnya bahwa
komputer bukanlah hanya sekedar bentuk sistem penyampaian, tetapi sebagai suatu
lingkungan yang memiliki nilai-nilai tertentu dengan segala kecenderungannya.
Bowers (1988) juga memberikan suatu tantangan yang meragukan bahwa teknologi
betul-betul bersifat netral dan dapat dibentuk untuk memenuhi segala tujuan
yang diinginkan.
Gerakan psikologi konstruktivisme telah mempengaruhi
terhadap Teknologi Pembelajaran. Menurut pandangan konstruktivisme bahwa
disamping adanya relaitas fisik, namun pengetahuan kita tentang realitas
dibangun dari hasil penafsiran pengalaman. Makna atas sesuatu tidak akan
terlepas dari orang yang memahaminya. Belajar merupakan suatu rangkaian proses
interpretasi berdasarkan pengalaman yang telah ada, interpretasi tersebut
kemudian dicocokan pengalaman-pengalaman baru.
Konstruktivisme (rancangan) cenderung
mempersoalkan perancangan lingkungan belajar daripada pentahapan kegiatan
pembelajaran. Lingkungan belajar ini merupakan konsteks yang kaya, baik berupa
landasan pengetahuan, masalah yang otentik, dan perangkat otentik yang
digunakan untuk memecahkan masalah. Nampaknya, ada semacam keengganan terhadap
adanya perumusan pengetahuan secara rinci yang harus dikuasai, dan kengganan
terhadap simplikasi atau regulasi isi, karena semua proses itu akan meniadakan
arti penting konteks yang kaya yang memungkinkan terjadinya transfer.
Perspektif alternatif lain yang mempengaruhi teknologi
pembelajaran adalah dari kelompok yang memandang penting atas keunggulan
belajar situasional (situated learning). Belajar situasional
terjadi bilamana siswa mengerjakan “tugas otentik” dan berlangsung di latar
dunia nyata. Belajar semacam ini tidak akan terjadi bilamana pengetahuan dan
keterampilan tidak diajarkan secara kontekstual”. Bila orang menekankan pada
belajar situasional, maka logika kelanjutannya adalah memahami belajar sebagai
suatu proses yang aktif, berkesinambungan dan dinilai lebih pada aplikasi
daripada sekedar perolehan.
Gerakan teknologi kinerja yang lebih berbasis terapan
(Geis, 1986) juga mengajukan perspektif alternatif lain dalam Teknologi
Pembelajaran. Para teknololog kinerja cenderung mengidentifikasi kebutuhan
bisnis dan tujuan organisasinya daripada tujuan belajar. Teknologi kinerja
sebagai suatu pendekatan pemecahan masalah adalah suatu produk dari berbagai
pengaruh teori seperti cybernetic, ilmu menajemen, dan ilmu kognitif
(Geis, 1986).
Para teknolog kinerja tidak selalu merancang
intervensi pembelajaran sebagai suatu solusi dalam memecahkan masalah. Teknolog
kinerja akan cenderung memperhatikan peningkatan insentif, desain pekerjaan,
pemilihan personil, umpan balik atau alokasi sumber sebagai intervensi.
Filsafat alternatif pun turut mewarnai terhadap
perkembangan teknologi pembelajaran. Filsafat alternatif ini berkembang dari
kelompok post-modernis (pasca-modern), yang telah melakukan analisis kritis
terhadap berbagai landasan keyakinan tradisional dan nilai-nilai dalam bidang
Teknologi Pembelajaran. Dalam perspektif post-modern, bahwa teknologi
pembelajaran sebagai suatu kiat sekaligus sebagai ilmu. Hlynka (1991)
menjelaskan bahwa post-modern adalah suatu cara berfikir yang menjunjung
prinsip keanekaragaman, temporal dan kompleks, dari pada bersifat universal,
stabil dan sederhana.
Banyak implikasi filsafat post-modern untuk praktek
dan teori desain sekarang ini, terutama tentang orientasi pemikiran yang
menggunakan paradigma desain baru, dan tidak bersandarkan pada model desain
yang sistematis. Filsafat post-modern lebih menyenangi pada hal-hal yang
bersifat terbuka dan fleksibel, dari pada hal-hal yang tertutup, terstruktur
dan kaku (Hlynka, 1991)
0 komentar:
Posting Komentar