“RELITAS PENDIDIKAN”
Dalam sejarah perjalanan bangsa
ini, sejak Indonesia belum merdeka hingga pascakemerdekaan 17 agustus 1945, banyak
sekali persoalan yang menerpaa dunia pendidikan negeri ini. Ketika bangsa ini
masih dijajah oleh bangsa asing baik belanda dan jepang konsep pendidikan terus
berubah karena mengikuti pendidikan kepentingan para penjajah. Bangsa ini hanya
dididik untuk mengabdi kepada para penjajah. Kekuatan fisik disedot habis guna
memuaskan kepentingan mereka dengan segala macam cara. Bangsa ini hanya
dijadikan budak pemuas nafsu oleh para kolonialis. Pendidikan yang diberikan
pada saat itu hanyalah merupakan suatu pembodohan terhadap bangsa sendiri
karena konsep pendidikan pada saat itu tidak menjadikan bangsa ini cerdas,
kritis, dan peka terhadap sekian persoalan yang dihadapi.
Pendidikan di jaman penjajah
adalah pendidikan yang menjadikan penduduk Indonesia bertekuk lutut di bawah
ketiak para kolonialis. Dalam pendidikan kolonialis, pendidikan bagi bangsa ini
bertujuan membutakan bangsa ini terhadap eksistensi dirinya sebagai bangsa yang
seharusnya dan sejatinya wajib dimerdekakan. Para penjajah membuat bangsa ini
jangan sampai bangkit dan bangun melawan para kolonialis. Bangsa ini
dipermainkan sedemikian rupa guna mendapatkan keuntungan sebanyak mungkin, baik
secara kepentingan lainnya, yang menguntungkan penjajah. Pendidikan di jaman
kolonialisme adalah mencetak para pekerja yang bisa dipekerjakan oleh penjajah
pula. Hal itu bukan lagi memanusiakan manusia sebagaimana konsep pendidikan
yang ideal. Para anak negeri pun hanyalah menjadi budak-budak para penjajah. Menurut
Dr. Kartini Kartono, pendidikan kolonial dipakai untuk menanamkan nilai-nilai
dan norma-norma masyarakat penjajah agar dioper oleh penduduk pribumi dan
mengiring penduduk pribumi menjadi budak dari pemerintah kolonial. Tujuan
pendidikan kolonial adalah agar penduduk pribumi menjadi pengikut atau kawulah
Negara yang patuh pada penjajah, bodoh, dan mudah ditundukkan dan
dieksploitasi, tidak memberontak, dan tidak menuntut kemerdekaan bangsanya.
Dr. kartini memberikan contoh bentuk
pembodohan terhadap bangsa Indonesia di masa penjajahan. Sebut saja, kebudayaan-kebudayaan
daerah di Indonesia, khususnya mata pelajaran sejarah bangsa kita yang otentik,
tidak diajarkan atau sengaja dijauhkan dari sistem pendidikan. Dengan begitu,
tradisi, filsafat budaya, nilai-nilai kesusilaan, dan kesusateraan yang adil luhur
dan peradaban klasik, semuanya mengalami proses atrofi (melisut, menysusut, dan
lumpuh). Bahkan pendidikan politik dan ekonomi tidak diberikan kepada anak-anak
didik pribumi, agar anak-anak didik pribumi tidak memberontak melawan
pemerintahan belanda.
Setelah belanda menjajah negeri
ini selama 3 abad lamanya, kembali dilanjutkan oleh jepang dan bangsa ini tetap
berada dalam kebodohan. Bangsa ini sangat mengalami yang namanya penderitaan
saat itu yakni pascakemerdekaan.
Menurut Kartini Kartono, hasil
pendidiikan pascakolonial(pascakemerdekaan) ini membuahkan beberapa hal berikut
:
1.
Dalam
masyarakat pascakolonial, terdapat banyak sikap hidup yang bisu dan kelu,
kebudayaan bisu dan budaya pedagogi yang hanya mengandalkan memori otak
sehingga menjadikan anak didik pasif linturgik serta menjadikan sekolah hanya
sebagai tempat untuk mendengarkan guru ceramah tanpa diberi kesempatan untuk
berpikir kritis.
2.
Massa
terbesar di daerah-daerah miskin di pedesaan dan kampong-kampung kumuh di
tengah serta pinggiran kota (daerah slums), ternyata tidak atau belum mampu
berkembang dan belum dapat diikutsertakan dalam proses pendidikan.
3.
Model
sekolah mengikuti pola barat.
4.
Di
sekolah bahasa ibu (bahasa derah) didiskualifikasi secara sistematis, diganti
dengan bahasa intelektual dan bahasa artifisial penguasa di bidang politik.
5.
Kaum
elit dan kelompok intelektual yang mendapatkan pendidikan di luar negeri tidak
akrab dengan masyatakat luas.
6.
Pendidikan
ada kalanya dipakai sebagai instrumen penting bagi proses invasi kultural untuk
menduduki dan menguasai kesadaran rakyat.
Adanya pendidikan pascakolonial
memberikan dampak negatif pada pemikiran bangsa ini yang masih mengikuti bangsa
asing dan begitupun pendidikannya. Setelah pendidikan
pascakolonial(pascakemerdekaan) berakhir artinya bangsa ini telah merdeka, betul
dilakukan perbaikan pola pikir dan konsep pendidikan bangsa ini tetapi hal itu
masih sulit karena masih ada peninggalan pola pikir ala barat(asing) yang masih
melekat pada bangsa ini. Harus ada perhatian penting dan paling utama dalam
menjelaskan perjalanan pendidikan kita.
Pendidikan kita Harus mampu
menjawab segala macam kesulitan yang dihadapi rakyat di masa pembangunan dan
sanggup menanggapi tuntutan jaman. Sistem pendidikan Negara-negara berkembang
yang baru merdeka dan belum lama melepaskan diri dari belenggu penjajahan, termasuk
Negara Indonesia, hampir semuanya merupakan jiplakan dari model pendidikan luar
negeri dan Negara penjajah di masa lampau.
Perbedaan yang ada antara
pendidikan antara jaman kolonialis dan pendidikan pascakemerdekaan adalah
apabila prakemerdekaan, pendidikan diabdikan utnuk penjajah dengan lahirnya
banyak kebijakan pendidikan yang berpihak pada kolonialis, maka
pascakemerdekaan, baik orde lama, orde baru, dan orde reformasi pun memiliki
cirri khas masing-masing. Maka dari, akan dibahas pendidikan pada orde lama,
orde baru maupun reformasi.
A.
Pendidikan
Orde Lama
Pada orde lama pendidikan dibawah
kendali oleh soekarno yang pada saat itu menerapkan konsep sosialisme menjadi
rujukan dasar bagaimana pendidikan itu akan dibentuk, dijalankan, dan dilakoni
dengan sedemikian rupa demi pembangunan dan kemajuan bangsa Indonesia di masa
mendatang. Konsep sosialisme pendidikan saat itu, diberikan ruang bebas kepada
setiap masyarakat untuk terjun dan mendapatkan
pendidikan serta tidak memandang kelas apapun dalam masyarakat.
Indonesia pada era tersebut
sangat mendukung pendidikan sebagai satu akselerasi masyarakat menuju
masyarakat adil dan makmur sesuai cita-cita UUD 1945. Bahkan mampu mengekspor
guru ke Negara tetangga, menyekolahkan ribuan mahasiswa ke luar negeri dan
menyebarkan mahasiswa ke penjuru negeri untuk mengatasi buta huruf. Hal itu
memberikan hasil yang sangat luar biasa pada tahun 1960an dan banyak perguruan
tinggi di bangsa ini. Para pengajar saat itu menjadi primadona pekerjaan bagi
rakyat. Tidak ada halangan ekonomis yang merintangi seseorang untuk belajar di
perguruan tinggi atau sekolah. Diskriminasi dianggap sebagai tindakan
kolonialis (seperti dilakukan kolonial belanda).
Sungguh pendidikan saat itu sudah
membuahkan hasil. Panggilan-panggilan terhadap orang baik yang sudah berumur
maupun belum, disamaratakan dengan sebutan “Bung”. “Bung” merupakan pengganti
sebutan orang yang tidak mengenal strata kelas, status, dan umur. Inilah orde
ketika semua orang merasa sejajar, tanpa dibedakan warna kulit, keturunan,
agama, dan sebagainya.
Di dalam kampus muncul kebebasan
akademis yang luar biasa, ditandai dengan fragmentasi politik yang begitu hebat
di kalangan mahasiswa. Adanya kebebasan berorganisasi sesuai dengan pilihan dan
keinginannya. Kebebasan berpendapat, walaupun sempat muncul pembredelan pers
oleh soekarno, namun relative baik ketimbang masa Orde Baru yang pada saat itu.
Inilah era keemasan bagi gagasan dan ilmu pengetahuan di Indonesia. Pada orde
lama banyak lahir pemikir-pemikir sebab ruang kebebasan betul-betul terbuka.
Pada tahun 1945 setelah masa
kemerdekaan dilewati, pendiikan nasional mulai meletakkan dasar-dasarnya.
Walaupun segakanya masih serba terbatas, pendidikan digratiskan. Uang SPP sama
sekali ditiadakan. Saat itu diberlakukan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950 jo
undang-undang nomor 12 tahun 1954 untuk mengatur sistem pendidikan nasional.
Sistem yang digunakan masih model yang lama (kolonial). Untuk lebih
meningkatkan mutu pendidikan tersebut, selanjutnya pemerintah pun mengambil
langkah strategis lainnya yakni, mendirikan universitas di setiap provinsi,
seperti Universitas Indonesia(UI), Institut Pertanian Bogor(IPB), Institut
Teknologi Bandung (ITB), Universitas Gajah Mada (UGM), dan Universitas
Airlangga(UNAIR). Tujuan awalanya tentu saja untuk pemerataan kesempatan
belajar bagi semua lapisan masyarakat. Tentu dengan adanya perguruan tinggi
tersebut memberikan ruang dan tempat yang ukup cemerlang bagi pendidikan
anak-anak bangsa di negeri ini.
Tidak ada politik telingkung dan
melingkung terhadap hak setiap warga Negara Indonesia untuk mendapatkan haknya
dalam pendidikan. Tidak ada tekanan politik apapun agar masyarakat Indonesia
tidak belajar pendidikan. Alih-alih pendidikan bertujuan untuk menerdaskan
kehidupan, maka era Orde lama betul-betul menjalankan hal tersebut secara tegas
dan konsisten.tidak menjadi retorika politik an sich sehingga ketika ruang untuk mendapatkan hak berpendidikan
diberikan dengan sedemikian lebar dan luas terhadap siapapun dan pihak manapun
sebagai warga begara Indonesia, bangsa ini bisa keluar dari lubang kebodohan
dan kepandiran.
Orde lama bukan hanya memberikan
suatu dampak yang positif bagi bangsa ini saat itu tetapi tentu ada
kelmahan-kelemahan atau dampak negatif bagi bangsa ini. Adapun kelemahannya
adalah masih adanya nuansa pendidikan kolonialis yang dibangun sebab, diakui
maupun tidak, bangsa Indonesia saat itu masih sedang mengalami transisi sangat
tinggi, baik secara politik, budaya, mauun ekonomi. Tetapi ini sudah merupakan
prsetasi yang terbaik bagi bangsa ini . kendali pemerintahan orde lama di bawah
soekarno mampu bersikap cepat, tangkas, dan cekatan bagaimana harus melakukan
pembenahan-pembenahan dalam pendidikan sebab ini adalah alat meletakkan
landasan dan prinsip hidup bangsa ini ke depan.
Dengan kata lain ketika
pendidikan dijadikan alat paling untuk mengubah bangsa, maka ini diniscayakan
akan mengubah bangsa itu. Semua masyarakat menjadi terdidik dan memiliki
gagsan-gagasan cemerlang bagaimana menghadapi dan melihat masa depan
pascakemerdekaan.
B.
Pendidikan
Orde Baru
Soekarno lengser dari tampuk
kekuasaan dan soeharto naik menjadi presiden, maka disitulah Orde Baru mulai
melahirkan dan menggelar kebijakan-kebijakannya, termasuk pula dalam dunia
pendidikan. Orde baru berlangsung dari tahun 1968-1998. Dalam era ini, dikenal
sebagai era pembangunan nasional. Terjadi suatu loncatan yang sangat signifikan
bagi pendidika saat itu dengan adanya instruksi Presiden (Inpres) Pendidikan
Dasar. Akan tetapi, saying sekali Inpres Pendidikan dasar belumditindaklanjuti
dengan peningkatan kualitas tetapi baru meningkatkan kuantitas.
Selain itu, sistem ujian Negara
yang disebut Evaluasi belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS) telah berubah
menjadi boomerang, yaitu penentuan kelulusan siswa menurut rumus-rumus
tertentu. Akhirnya tiap-tiap lembaga pendidikan sekolah berusaha untuk
meluluskan siswanya 100 persen. Era orde baru telah dijadikan sebagai indicator
palsu mengenai keberhasilan pemerintah dalam pembangunan. Dari hasil manipulasi
ujian nasional sekolah dasar, kemudian meningkat ke sekolah menengah pertama,
kemudian meningkat lagi ke sekolah menengah tingkat atas, dan selanjutnya
berpengaruh pada mutu pendidikan tinggi. Walaupun pada waktu pendidikan tinggi
memiliki otonomi dengan mengadakan ujian masuk melalui UMPTN, tetapi hal
tersebut tidak menolong.
Pada akhirnya hasil EBTANAS juga
dijadikan indicator penerimaan di perguruan tinggi. Untuk meningkatkan mutu
pendidikan tinggi, maka pendidikan tinggi negeri mulai mengadakan penelusuran
minat dari para siswa SMA yang berpotensi. Lebih runyam lagi, manipulasi nilai
dan bahkan pemalsuan ijazah kelulusan marak terjadi demi mendapatkan
popularitas tertinggi bagi lembaga sekolahnya.
Disamping perkembangan pendidikan
tinggi dengan usahanya untuk mempertahankan dan meningkatkan mutunya pada masa
Orde Baru, muncul gejala, yaitu tumbuhnya perguruan tinggi swasta dalam
berbagai bentuk. Apapun apologi yang disampaikan di era orde baru guna
memajukan pendidikan yang menerdaskan dan mencerahkan, itupun hanya isapan
jempol belaka. Sebab yang terjadi, pendidikan direkayasa dengan sedemikian rupa
demi sebuah pencitraan tertentu.
Pendidikan orde baru juga telah
melakukan kesalahan yang teramat besar, yakni menggelar ideology penyeragaman
sehingga kemajuan pendidikan pun menjadi mampret.
Megutip pendapat Darmaningtyas, pendidikan orde baru ibarat militer. Jiwa yang
dikembangkan di sekolah umum sama dengan jiwa yang dikembangkan disekolah umum
sama dengan jiwa yang dikembangkan di sekolah militer. Pendidikan yang
militeristik itu sangat dirasakan oleh para guru, siswa, maupun masyarakat
luas, melalui adanya ideologi penyeragaman, yaitu semua di seragamkan (dari
soal pakaian, kurikulum, metode mengajar, sampai soal cara berpikir). Tidak ada
ruang sedikitpun bagi berkembangnya keragaman pikiran, ideologi, budaya, suara,
hingga tindakan selama masa Orde baru Berkuasa selama 32 tahun. Pendidikan
sesungguhnya tidak ada, yang ada adalah indoktrinasi, santiaji, penataran, atau
tutorial mengajari orang patuhdan menjadi penurut.
Prinsip dasar pendidikan pada
umumnya adalah memberikan kemerdekaan (otonomi) melalui pendewasaan kepada
setiap individu untuk mengambil keputusan. Pendewasaan dalam pendidikan berarti
setiap individu mampu bertanggung jawab atas dirinya sendiri, bersikap toleran
kepada orang lain, serta empati terhadap penderitaan. Ukuran keberhasilan
pendidikan adalah sejauh mana proses pendewasaan pada setiap siswa itu dapat
terjadi sehingga setiap individu yang berpendidikan tidak tergantung pada orang
lain, melainkan hidup secara otonom (mandiri). Saling membutuhkan satu sama
lain bukanlah suatu hal yang keliru, tetapi relasi yang mereka bangun adalah
kesetaraan, tidak ada unsur dominative dan submisif antara satu dengan lainnya.
Hubungan kesetaraan itu tidak mungkin terwujud dalam sistem pendidikan militer
dan bersifat militeristik, seperti yang terjadi pada pendidikan kita sekarang.
Kegagalan bangsa Indonesia dalam mengelolah kekayaan alam yang melimpah ruah
dan hanya memunculkan berbagai kritik pada pendidikan. Pendidikan di anggap
hanya mencetak orang-orang Indonesia yang “melempem” yang sok siap menerima tawaran bertarung di persaingan global, padahal
daya saingnya rendah.
Selain penyebab gagalnya sistem
pendidikan orde baru di atas, kesalahpahaman dan kerancuan memaknai kurikulum
hanya sebagai materi pelajaran adalah dua hal yang dituding pula sebagai
penyebab gagalnya sistem pendidikan di negeri ini. Orde baru adalah orde
pembangunan sehingga menjadi awal apabila pendidikan darahkan guna mendukung
tujuan pembangunan nasional. Dengan kata lain, orientasi dari pradigma
pembangunan itu terletak pada ekonomi, kemajuan teknologi, pesatnya
industrialisasi, individualisasi, dan sekularisasi, yang melahirkan perombakan
teori-teori ekonomi, teori-teori Negara, dan pola tingkat penguasaan ilmu
pengetahuan dan kepentingan manusia lebih dari kemanusiaannya. Logika ekonomis
teknologis, orientasi kebendaan, dan materialistis menjadi gaya hidup.
1.
Lahirnya
para kuli
Salah satu tujuan pendidikan orde
baru adalah mendukung pendidikan pembangunan nasional. Oleh karenanya, sangat
wajar pula apabila produk-produk pendidikan diarahkan untuk menjadi pekerja.
Setelah selesai dari bangku pendidikan, mereka masuk kedalam dunia kerja, siap
menjadi kuli yang diperintah oleh atasan atau majikannya tanpa harus melakukan
proses apapun. Bagi penguasa Orde Baru dengan segala kroni dan anteknya,
produk-produk pendidikan adalah para pekerja fisik yang siap menyerupai mesin.
Jika kita tahu mesin dan bagaimana kinerjanya, maka itulah tujuan pendidikan
tujuan penddidikan yang diinginkan oleh orde baru. Ini sangat menakutkan dan
menyeramkan. Pendidikan betul-betul tidak dijalankan sebagaimana mestinya demi
penguatan harkat, martabat, dan kemanusiaan manusia sebagai makhluk yang
terdidik dan berakal. Pendidikan hanyalah alat memuluskan kepentingan politik
dan ekonomi golongan dominan yang memliki kekuasaan, jaringan kekuasaan dengan
penguasa dan kelompok tertentu yang sedang memanfaatkan kekuasaan Orde Baru
agar dapat ikut menikmati keuntungan politis dan ekonomis tersebut.
2.
Lahirnya
kalangan terdidik Antirealitas
Beberapa strategi penting yang
digunakan Orde Baru guna melahirkan tenaga terdidik atirealitas adalah sebagai
berikut :
a.
Pelarangan
adanya buku-buku aliran kiri, seperti sosialisme maupun marxisme.
b.
Segala
bentuk kelompok diskusi yang berbau kasjian sosial kritis pun, terlebih lagi
sosialisme dan marxisme, dilarang dijalankan oleh kaum muda yang sedang menimba
ilmu atau pendidikan sebab ini bisa melahirkan sebuah golongan pemuda yang
membahayakan sebuah rezim orde baru.
c.
Buku-buku
yang menanamkan indoktrinasi Orde baru terhadap anak-anak muda bangsa justru
dibolehkan beredar sebagai bacaan public sebab ini menjadi sebuah penguat dan
penanam nilai-nilai politis kepentingan orde baru sehingga anak muda bangsa pun
tercekoki dan dicekoki ideologi.
Oleh sebab itu, ketika hal-hal
sedemikian sangat gencar dilakukan oleh penguasa Orde Baru, maka ini akan
memudahkan untuk mengiring para pemuda Indonesia berlutut di kaki kepentingan
politik rezim yang berkuasa sehingga alih-alih akan menjadi kritis dan peka
terhadap persoalan-persoalan sosial, mereka justru tumpul dan buta terhadap
persoalan-persoalan sosial yang dihadapi bangsanya.
3.
Demokrasi
Yang Terpanggang
Satu hal yang cukup mengerikan
dibawah kekuasaan orde baru adalah hilangnya kebebasan berpendapat. Demokrasi
yang memberikan ruang sebebas-bebasnya dalam segala hal hal dikebiri. Demokrasi
saat itu dipanggang diatas api panas kekuasaan politik rezim orde baru sehingga
terbakar mati, tanpa sisa apapun kecuali tinggal abu saja. Ini sangat ironis.
Saat itu, lahir kebijakan mengenai normalisasi kehidupan kampus/badan
koordinisasi kemahasiswaan (NKK/BKK) dibawah pemerintah secara langsung.
Sejak 1978, ketika NKK/BKK
diterapkan di kampus, aktivitas kemahasiswaan kembali terkonsentrasi di
kantung-kantung himpunan jurusan dan fakultas. Mahasiswa dipecah belah dalam
disiplin ilmunya masing-masing. Ikatan mahasiswa antarkampus yang diperbolehkan
juga yang berorientasi pada displin ilmunya, misalnya ada ikatan Senat
Mahasiswa Ekonomi Indonesia(ISMEI), ikatan Senat Mahasiswa Pertanian Indonesia
(ISMPI), dan sebagainya. Lahirnya kebijakan NKK/BKK telah memasung kebebasan
kampus sebagai tempat mahasiswa belajar berdemokrasi sehingga ini telah merusak
misi pendidikan sesungguhnya, yaitu sebagai alat pembebasan dan pemerdekaan
manusia dari segala bentuk penindasan, termasuk penindasan kebebasan
berpendapat melalui kebijakan NKK/BKK.
Kampus menjadi penjara bagi
mahasiswa untuk melakukan aktualisasi terhadap segala bentuk potensi dan bakat
yang dimilikinya sehingga ini kemudian menjadikan mereka mandul, tidak bisa
berbuat apa-apa, kecuali hanya diwajibkan untuk dating ke ruangan kelas, duduk
manis mendengarkan ceramah dosen, mengerjakan tugas yang diberikan oleh dosen
dan begitu seterusnya. Lahirnya NKK/BKK telah merusak cita-cita pendidikan yang
memperjuangkan hak-hak sipil setiap warga Negara yang disuarakan oleh
demokrasi.
Pendidikan tidak lagi menjadi
pembangunan kesadaran politik dalam berdemokrasi maupun berpendapat dalam
segala bentuk apapun. Pendidikan hanya menjadi “sapi perahan” kelompok elit
untuk ditunggangi kepentingan-kepentingan politis sectarian tertentu. Birokrasi
Negara mulai dari pusat hingga daerah mampu memiliki suara yang sama dalam
menjalankan kebijakan tersebut. Bahkan ketika masuk dan memasuki dunia kampus,
ketika masuk dalam birokrasi rektorat, tidak ada protes apapun sama sekali,
seolah sudah dihipnotis secara politis oleh penguasa.
Ini sebuah realitas yang terjadi
saat itu. Oleh sebab itu, ketika kondisi demokrasi dalam dunia pendidikan sudah
tercerabut dan dirampok oleh penguasa Orde Baru, maka ini sesungguhnya menjadi
satu tolak ukur bahwa pendidikan saat itu hanya dijadikan alat memuaskan nafsu
politik kekuasaan penguasa. Pendidikan yang menjunjung tinggi nilai-nilai
demokrasi sangat diharamkan untuk dijalankan. Pendidikan yang meneriakkan
antipemasungan beroendapat telah menjadi omongan belaka yang tidak berbanding
lurus dengan relaitas sosial saat itu. Lebih tepatnya orde baru telah membunuh
demokrasi dalam pendidikan demi menjalankan misi politik kekuasaan dan
penguasaan represif.
C.
Pendidikan
Orde Reformasi
Salah satu gerbang utama yang
telah memaksa soeharto yang disebut pengusa Orde Baru lengser dari tampuk
kekuasaan selama 32 tahun adalah peristiwa reformasi, yang digelar oleh
mahasiswa tanggal 21 Mei 1998. Romy Beny Susetyo mengatakan bahwa era reformasi
telah memberikan ruang cukup besar bagi perumusan kebijakan-kebijakan
pendidikan baru yang bersifat reformatif dan revolusioner. Kurikulum pun bukan
lagi hafalan sebagaimana yang dikritik secara tegas oleh Paulo freira, yakni
ala banking, namun kurikulum pendidikan pun menjadi berbasis kompetensi dengan
segala anak pinaknya.
Dalam program pembangunan
nasional (propenas) 1999-2004, diakui bahwa manajemen pendidikan nasional
selama ini secara holistik sangat sentralisasi sehingga ini mentup dinamika
demokratisasi pendidikan. Diakui maupun tidak manajemen pendidikan yang
sentralistik akan menyebabkan dan melahirkan kebijakan uniform (seragam) yang tidak mampu dan tidak bisa mewadahi segala
perbedaan, keberbedaan, atau heterogenitas kepentingan setiap
daerah/sekolah/peserta didik. Ini kemudian mematikan partisipasi mesyarakat
dalam proses pendidikan serta mendorong terjadinya pemborosan dan kebocoran
alokasi anggaran pendidikan.
Oleh karenanya, penguasa
reformasi pun berupaya memformulasi arah kebijakan pembangunan pendidikan dalam
Garis-Garis Besar Haluan Negara (199-2004) sebagai berikut :
1.
Menguapayakan
perluasan dan pemerataan kesempatan memeroleh pendidikan yang bermutu tinggi
bagi seluruh rakyat Indonesia menuju terciptanya manusia Indonesia berkualitas
tinggi, dengan peningkatan anggaran pendidikan secara berarti.
2.
Meningkatkan
kemampuan akademik dan professional serta meningkatkan jaminan kesejahteraan
tenaga kependidikan sehingga tenaga pendidik mampu berfungsi secara optimal
terutama dalam peningkatan pendidikan watak dan budi pekerti agar dapat
mengembalikan wibawa lembaga dan tenaga kependidikan.
3.
Melakukan
pembaruan sistem pendidikan termasuk pembaruan kurikulum pembaruan.
4.
Memberdayakan
lembaga pendidikan baik sekolah maupun luar sekolah sebagai pusat pembudayaan
nilai,sikap dan kemampuan.
5.
Meningkatkan
kualitas lembaga pendidikan yang diselenggarakan baik oleh masyarakat maupun
pemerintah.
6.
Mengembangkan
sumber daya manusia sedini mungkin secara terarah, terpadu dan menyeluruh
melalui berbagai upaya proaktif dan reaktif oleh seluruh komponen bangsa.
7.
Meningkatkan
penguasaan, perkembangan, dan pemanfaatan ilmu pengetahuan, dan teknologi.
Adanya sejumlah kebijakan
pendidikan yang telah dilahirkan di era reformasi masih menjadi sebuah teori
belaka yang tidak mampu dijalankan berhasil dalam implementasi pendidikan yang
betul-betul menyentuh kehidupan rakyat Indonesia. Kebijakan pendidikan yang
disebut akan diserahkan kepada daerah dalam mengurus dan mengurusi pendidikan
terkadang setengah-setengah sehingga hasilnyapun sangat mentah dan tidak
melahirkan satu kebijakan hakiki pendidikan. Anggaran pendidikan pun demikian.
Karena masih ada factor tarik menarik sangat tinggi antara pusat dan daerah,
maka penganggaran pendidikan pun tidak sesuai dengan amanat UUD 1945. Lebih
ironsi lagi, sudah mulai muncul kesan di tengah public bahwa ketika pendidikan
diharapkan mampu dinikmati seluruh lapisan kelas sosial yang disebut pemerataan
pendidikan, maka pendidikan menjadi mahal dan tidak terjangkau.
Kurikulum pun yang selalu
berganti dari setiap pemerintahan pascareformasi. Seolah, pendidikan menjadi
sebuah kelinci percobaan dari setiap fase penguasa tertentu. Pendidikan menjadi
tumbal dan korban kepentingan para elit pendidikan di tingkat birokrasi
kekuasaan yang terus berupaya mencoba-coba sebuah konsep pendidikan tertentu
untuk dijalankan.
1.
Menggiring
Pendidikan Ke lokalitas
Awal munculnya
kebijakan-kebijakan pada era reformasi menjadi harapan bersama bahwa pendidikan
bisa ditangani setiap daerah yang mengetahui secara persis persoalan-persoalan
lokalitas yang terjadi di wilayahnya sehingga tujuan pendidikan betul-betul
sesuai dengan tujuan yang dikehendaki di setiap daerah tertentu, namun tanpa
menghilangkan tujuan pendidikan nasional. Akan tetapi kenyata berbicara lain.
Kebijakan tersebut hanya menghilangkan tujuan pendidikan yang sebnarnya. Karena
adanya raja-raja kecil, maka tujuan pendidikan di setiap lokalitas tertentu
kemudian diarahkan sesuai dengan kepentingan politis raja keil tersebut, bukan
lagi sebangun dengan potensi yang sedang berkembang di daerah terkait.
Pendidikan bukan lagi dilihat sebagai pengembangan, pembangunan dan pemajuan
potensi lokalitas tertentu agar berdaya dan bisa diberdayakan dengansedemikian
maksimal dan optimal untuk ikut serta memajukan tujuan pendidikan nasional.
Bila di era orde baru, uang
Negara dikorupsi oleh elit penguasa, maka di era reformasi ini, uang Negara
yang berada di kas daerah pun rentan untuk dikorupsi oleh elit-elit penguasa
daerah. Ini sudah persoalan yang cukup mengkhawatirkan. Oleh karenanya, hal
penting yang kemudian perlu dicermati lebih detail dan serius adalah ternyata
undang-undang tersebut sarat dengan kebocoran anggaran daerah bisa saja
dimasukkan kekantong-kantong elit penguasa daerah, sebut saja, dana untuk
pendidikan mengalami hambatan, bila tidak disebut dengan kemacetan total.
Korupsi semakin meraja lela
diberbagai lembaga-lembaga pendidikan di daerah-daerah pada era tersebut. Semuanya
direkayasa sedemikian rupa mulai dari pejabat tinggi sampai pada guru-guru yang
berada pada lingkungan sekolah. Pada tingkat sekolah mereka kemudian
menegosiasikan persentase keuntungan dengan kepala sekolah dan guru. Kemudian,
guru akan mewajibkan siswa membeli buku tersebut. Oleh karenanya bila
disebutkan bahwa ketika pendidikan digirng ke lokalitas yang kemudian disebut
pendidikan berbasis masyarakat diharapakan memberikan kemudahan dalam segala
hal bagi anak didik, itu pun ibarat “panggang jauh dari api”. Akhirnya, ketika
melihat potret tersebut, pendidikan di daerah mengalami salah urus dalam
penganggarannya.
Hal-hal tersebut muncul karena
daerah dengan segala aparaturnya tidak siap dengan segala kebijakan dalam
bentuk perundang-undangan dalam mengelolah sumber daya manusia di daerah
masing-masing. Penyebabnya adalah karena keterkejutan budaya setelah selama 32
tahun mengalami ketersumbatan ruang untuk menggunakan wewenang di daerah dalam
menjalankan kebijakan sehingga terlena dan terseret pada
kepentingan-kepentingan sektoral tertentu atau sumber daya manusia yang menjadi
pemimpin belum mapan secara kapasitas intelektual, manajerial, dan lain
seterusnya.
2.
Menggugat
Desentralisasi Pendidikan
Amanat reformasi dalam dunia
pendidikan adalah mewujudkan pendidikan yang berbasis lokalitas-lokalitas tertentu.
Kebijakan pendidikan harus sebangun dengan kebutuhan dan kepentingan local,
bukan lagi diseret kepada kebijakan pusat yang jarang memerhatikan potensi di
daerah-daerah. Otonomi atau desentralisasl, termasuk dalam dunia pendidikan,
merupakan salah satu tema pokok reformasi politik Indonesia pascapemerintahan
soeharto. Desentralisasi adalah melepaskan diri dari pusat. Otonomi adalah
pemerintahan sendiri.
Menurut para pakar,
desentralisasi pendidikan pascareformasi dengan lahirnya paket UU No.22 tahun
1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 dengan segala anak pinaknya tidak memiliki
perncanaan yang jelas dan terarah. Kebijakan ini hanya lebih dilihat sebagai
buah kekagetan politik ketimbang keinginan untuk mengatur administrasi
pemerintahan yang demokratis. Yang jelas daerah sangat tidak siap dalam
pelbagai segi dengan gelombang otonomi daerah, termasuk dalam dunia pendidikan.
Akibatnya dalam perjalanannya pun mengalami ketersendataan yang cukup fatal.
Namun kendatipun demikian, kita
masih menyaksikan sentralisasi kebijakan, atau lebih tepatnya, resentralisasi
yang kurang disadari maupun memang sudah disadari, tetapi seolah tidak
menyadari hal itu. Maka dengan memerhatikan kepentingan pemerintah pusat di
bidang pendidikan yang bersifat pengaturan dan penetapan standarnisasi
pengelolaan baik kurikulum, kompetensi siswa, penilaian hasil belajar, maupun
yang lain-lain. Dapat dibayangkan betapa banyak tugas yang tiba-tiba bisa saja
harus diemban.
Kita merasakan adanya
ketidakpuasan pusat dalam menyerahkan kewenangan kepada daerah dan kita
merasakan adanya ketidakpastian secara kelembagaan maupun pelaksanaan
kebijakan daerah. Beberapa kasus
menunjukkan semua serba kaau dan carut marut. Sebut saja contoh yang paling
nyata di depan mata kita adalah penentuan kelulusan siswa baik sekolah menengah
pertama(SMP), sekolah menegah Atas(SMA), dan sederajat yang sangat rancu. Dalam
konteks ini, pemerintah menetapkan bahwa kelulusan itu meliputi tiga hal. Pertama
adalah evaluasi belajar siswa yang ditentukan sekolah. Kedua adalah perilaku
siswa. Ketiga adalah hasil belajar hasil akhir yang di jalani melalui ujian
nasional (UN). Secara ideal, hal itu sangat menjadi harapan. Namun dalam
konteks kenyataan, kedatipun para siswa sedah lulus baik poin pertama dan poin
kedua tetapi gagal pada poin ketiga, maka mereka dinyatakan gagal total (tidak
LULUS). Akan tetapi, apabila mereka gagal di poin pertama dan kedua dan lulus
di poin ketiga mereka tetap dinyatakan lulus sekolah. Oleh karenanya mencermati
persoalan diatas, pemerintah dalam konteks desentralisasi kebijakan pendidikan
yang digelarnya pun sangat tidak konsisten. Desentralisasi pendidikan yang
didengung-dengungkan amanat reformasi belum mampu dijalankan secara serius oleh
pemerintah.
Desentralisasi adalah hanyalah
sebuah pencitraan politik pemerintah terhadap public agar terkesan reformis dan
demokratis, padahal itu hanyalah kebohongan publik. Kebijakan desentralisasi
tersbut hanyalah untuk mengelabui masyarakat dan bangsa ini bahwa pemerintah
betul-betul menjalankan amanat reformasi dalam dunia pendidikan.
Penafsiran yang sempit mengenai
makna otonomi dalam bentuk desentralisasi pendidikan telah melahirkan jalan
berliku untuk mewujudkan desentralisasi yang hakiki. Oleh karenanya, diakui
atau tidak, inilah realitas pelaksanaan desentralisasi pendidikan yang
amburadul, tidak tepat sasaran dan justru semakin memburamkan tujuan pendidikan
itu sebagai pembudayaan dan penanaman nilai-nilai pendidikan yang berbudaya dan
berkeluhuran tinggi. Yang pasti, desentralisasi belum tepat disebut kebijakan
pendidikan yang tepat sasaran sebab hasil pelaksanaannya selama ini tidak
menunujukkan prestasi cukup luar biasa sebagai hasil pelaksanaan desentralisasi
pendidikan.
3.
Liberalisasi
Pendidikan
Salah satu tujuan lain amanat
reformasi adalah teraksesnya pendidikan secara merata kepada seluruh masyarakat Indonesia, tidak peduli apakah
mereka berasal dari kalangan atas, menengah maupun bawah. Semua masyarakat
mendapatkan dan menikmati dunia pendidikan secara layak.
Dalam beberapa kepemimpinan mulai
dari B.J. Habibi, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarno Putri hingga Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY), belum ada seorang presiden yang secara serius mengawal
pendidikan supaya bisa diakses oleh seluruh kelas sosial, termasuk mewujudkan
anggaran pendidikan sebesar 20%. Kendatipun sekarang ini pemerintah dibawah
kendali Susilo Bambang Yudhoyono kemudian akan menganggarkan dana pendidikan
sebesar 20% APBN 2009, sebagaimana amanat undang-undang menjelang akhir masa
kepemimpinannya pun masih sebatas rancangan yang belum tentu bisa
direalisasikan sesuai harapan. Sebab pada umumnya, janji seorang politisi
hanyalah janji yang penuh dengan kepentingan politisi tertentu dan bisa berubah
sesuai dengan dinamika politik yang berlembang di masa mendatang.
Setiap satuan pendidikan diberi
kebebasan penuh untuk mencari dana pendidikan
sendiri. Ketika ini terjadi, maka setiap lembaga pendidikan pun
melakukan satu kebijakan elitis, yakni mematok biaya masuk berpendidikan dengan
harga yang selangit dan sangat mahal. Dalam pandangan setiap penyelenggra
pendidikan, uang sebagai tujuan paling utama untuk tetap mempertahankan
keberlangsungan lembaga pendidikannya. Pendidikan kemudian diserahkan kepada
pasar sehingga ketika berbicara pasar, maka hanya yang berduit saja yang bisa
membeli pendidikan, sedangkan yang miskin secara ekonomi dan financial menjadi
masyarakat terbuang dan kesulitan untuk dapat mengakses pendidikan. Mansour
fakih berpendapat bahwa awal dari sebuah penyerahan barang ke pasar disebabkan
pengaruh ideologi besar yang disebut liberalism. Liberalism asal muasalnya
merupakan luapan aksi perjuangan kaum borjois menghadapi kaum konservatif.
Secara lebih tegas, liberalism merupakan paham yang mempertahankan otonomi
individu melawan intervensi komunitas. Ini juga bersangkut paut dengan dunia
ekonomi. Liberalisme itulah yang kemudian berkembang dan berbuah
neoliberalisme.
Aturan dasar kelompok
neoliberalisme adalah neoliberalisme perdagangan dan finance, biarkan pasar
yang menentukan harga, mengakhiri inflasi, stabilisasi ekonomi makro,
privatisasi, dan pemerintah harus menyingkir menghalangi jalan. Oleh karenanya,
terkait dengan otonomi pendidikan yang digulirkan pemerintah, ini sama halnya
dengan membiarkan pendidikan diserahkan kepada pasar. Pendidikan telah
diperjual belikan sehingga hanya kelompok yang berkantong tebal saja, yang
kemudian bisa menikmati pendidikan,melenggang bisa bersekolah, mengenyam dunia
pendidikan dan pintar sedangkan orang yang tidak mampu atau yang hidup dibawah
garis kemiskinan dengan pendapatan yang sangat
pas-pasan hanya dapat bermimpi untuk mendapatkan pendidikan.
4.
Pemerintah
Akses Pendidikan Hanya Sebuah Mitos
Apabila reformasi 1998 memberi
amanat kepada setiap pemimpin bangsa guna memberikan ruang selebar-lebarnya
kepada anak bangsa di seluruh negeri agar mendapat pendidikan yang layak dan
bermutu, yang kemudian diperkuat oleh arah kebijakan pembangunan pendidikan
dalam GBHN (1999-2004),dengan segala anak pihaknya, maka ini kemudian menjadi
mitos belaka, yang tidak bisa dirasakan dan dinikmati oleh seluruh anak bangsa.
Pemerataan akses pendidikan
menjadi sebuah jargon politik guna membohongi rakyat Indonesia dari sabang
sampai marauke. Kenyataan yang terjadi adalah masyarakat miskin dan anak-anak
orang miskin tetap mengalami kesulitan untuk menjamah dunia pendidikan. Jika
kondisi seperti ini semakin menggila dan jumlah anak orang miskin yang tidak
bisa menikmati dunia pendidikan semakin bertambah, maka timbullah disparitas
social yang sangat tinggi.disparitas tersebut meliputi rentannya konflik social
yang bersifat horizontal antara si miskin dan si kaya.ini kemudian menunjukan
bahwa kepedulian dan komitmen politik pemerintah guna menjalankan tanggung
jawab politik dalam pemerataan akses pendidikan masih ibarat menegakkan benang
basah.namun dalam pemerataan pendidikan muncul saling tarik-menarik dalam
pengambilan keputusan untuk membuka ruang akses pemerataan pendidikan dengan
yang tidak setuju memberikan akses yang adil terhadap masyarakat, yang
setuju,biasanya lebih banyak berasal dari kalangan penguasa di lingkaran
eksekutif yang bertindak sebagai
eksekutor kebijakan agar tetap dicitrakan baik ditengah public.ini sangat jelas
akan dilalui setiap masyarakat manapun yang terlanjur kecewa dengan kinerja
pemerintah selama ini yang tidak becus mengurusi dunia pendidikan. Maka,
pemerintah didepan masyarakat hanya sebuah formalitas saja karena kepercayaan
politik kepadanya sudah hilang dan ditinggalkan seiring dengan sekian banyak
kebohongan politik yang sudah dilakukan selama ini.
Pemerintah bukan lagi
sekonyong-konyong memberikan stigma buruk bahwa mereka sudah tidak percaya lagi
terhadap pemerintah selaku pengemban amanat rakyat.pemberian stigma buruk itu
adalah sebuah kesalahan besar yang seharusnya tidak boleh dilakukan. Diakui
maupun tidak, pendidikan adalah alat paling utama yang dapat menjalankan segala
roda kehidupan bangsa-bukan politik, ekonomi, dan lain seterusnya-pun berada di
awang-awang.oleh karena itu pemerintah dalam konteks ini pun harus mau mengubah
sikap politik apabila menginginkan bangsa ini bangsa yang besar.dengan kata
lain memiliki prinsip yang tegas dan
perjuangan guna mengubah bangsa ini dengan pendidikan, maka hal tersebut harus
di jalankan dengan tugas, jangan setengah-tengah.belajar dari Negara-negara
modern yang memiliki kualifikasi
demokrasi yang baik. Maka janji politik seperti pemerataan akses pendidikan
secara adil menjadi beban politik yang bisa digunakan oleh masyarakat sebagai
kata kunci guna menumbangkan atau tetap memertahankan pejabat tertentu.sebab
mereka tidak mau dikibuli oleh para politisi yang memang terlalu potensial
untuk selalu berbohong.
Oleh karenanya, sudah saatnya
bagi pemerintah memberikan rumusan platform kebijakan yang berpihak kepada kaum
lemah. Dan pemerintah juga harus merumuskan kebijakan yang komprehensif dan
panjang guna memberikan akses pendidikan secara adil kepada masyarakat,
khususnya bagi mereka yang berasal dari kalangan menengah kebawah karena ini
sudah menjadi tanggung jawab dan amanat politik pemerintah untuk melaksanakan
hal tersebut dengan sebaik-baiknya, bukan kemudian lari dari tanggung jawab
serta amanat yang dipikulkan pada pundaknya. Oleh sebab itu, bila amanat
kemudian tidak dijalankan maka pemerintah telah menghianati janjinya untuk menjalankan
amanat tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar