Berita Terbaru :

Selasa, 20 September 2011

BUKU MENGGUGAT PENDIDIKAN INDONESIA



 
“RELITAS PENDIDIKAN”
Dalam sejarah perjalanan bangsa ini, sejak Indonesia belum merdeka hingga pascakemerdekaan 17 agustus 1945, banyak sekali persoalan yang menerpaa dunia pendidikan negeri ini. Ketika bangsa ini masih dijajah oleh bangsa asing baik belanda dan jepang konsep pendidikan terus berubah karena mengikuti pendidikan kepentingan para penjajah. Bangsa ini hanya dididik untuk mengabdi kepada para penjajah. Kekuatan fisik disedot habis guna memuaskan kepentingan mereka dengan segala macam cara. Bangsa ini hanya dijadikan budak pemuas nafsu oleh para kolonialis. Pendidikan yang diberikan pada saat itu hanyalah merupakan suatu pembodohan terhadap bangsa sendiri karena konsep pendidikan pada saat itu tidak menjadikan bangsa ini cerdas, kritis, dan peka terhadap sekian persoalan yang dihadapi.
Pendidikan di jaman penjajah adalah pendidikan yang menjadikan penduduk Indonesia bertekuk lutut di bawah ketiak para kolonialis. Dalam pendidikan kolonialis, pendidikan bagi bangsa ini bertujuan membutakan bangsa ini terhadap eksistensi dirinya sebagai bangsa yang seharusnya dan sejatinya wajib dimerdekakan. Para penjajah membuat bangsa ini jangan sampai bangkit dan bangun melawan para kolonialis. Bangsa ini dipermainkan sedemikian rupa guna mendapatkan keuntungan sebanyak mungkin, baik secara kepentingan lainnya, yang menguntungkan penjajah. Pendidikan di jaman kolonialisme adalah mencetak para pekerja yang bisa dipekerjakan oleh penjajah pula. Hal itu bukan lagi memanusiakan manusia sebagaimana konsep pendidikan yang ideal. Para anak negeri pun hanyalah menjadi budak-budak para penjajah. Menurut Dr. Kartini Kartono, pendidikan kolonial dipakai untuk menanamkan nilai-nilai dan norma-norma masyarakat penjajah agar dioper oleh penduduk pribumi dan mengiring penduduk pribumi menjadi budak dari pemerintah kolonial. Tujuan pendidikan kolonial adalah agar penduduk pribumi menjadi pengikut atau kawulah Negara yang patuh pada penjajah, bodoh, dan mudah ditundukkan dan dieksploitasi, tidak memberontak, dan tidak menuntut kemerdekaan bangsanya.
 Dr. kartini memberikan contoh bentuk pembodohan terhadap bangsa Indonesia di masa penjajahan. Sebut saja, kebudayaan-kebudayaan daerah di Indonesia, khususnya mata pelajaran sejarah bangsa kita yang otentik, tidak diajarkan atau sengaja dijauhkan dari sistem pendidikan. Dengan begitu, tradisi, filsafat budaya, nilai-nilai kesusilaan, dan kesusateraan yang adil luhur dan peradaban klasik, semuanya mengalami proses atrofi (melisut, menysusut, dan lumpuh). Bahkan pendidikan politik dan ekonomi tidak diberikan kepada anak-anak didik pribumi, agar anak-anak didik pribumi tidak memberontak melawan pemerintahan belanda.
Setelah belanda menjajah negeri ini selama 3 abad lamanya, kembali dilanjutkan oleh jepang dan bangsa ini tetap berada dalam kebodohan. Bangsa ini sangat mengalami yang namanya penderitaan saat itu yakni pascakemerdekaan.
Menurut Kartini Kartono, hasil pendidiikan pascakolonial(pascakemerdekaan) ini membuahkan beberapa hal berikut :
1.      Dalam masyarakat pascakolonial, terdapat banyak sikap hidup yang bisu dan kelu, kebudayaan bisu dan budaya pedagogi yang hanya mengandalkan memori otak sehingga menjadikan anak didik pasif linturgik serta menjadikan sekolah hanya sebagai tempat untuk mendengarkan guru ceramah tanpa diberi kesempatan untuk berpikir kritis.
2.      Massa terbesar di daerah-daerah miskin di pedesaan dan kampong-kampung kumuh di tengah serta pinggiran kota (daerah slums), ternyata tidak atau belum mampu berkembang dan belum dapat diikutsertakan dalam proses pendidikan.
3.      Model sekolah mengikuti pola barat.
4.      Di sekolah bahasa ibu (bahasa derah) didiskualifikasi secara sistematis, diganti dengan bahasa intelektual dan bahasa artifisial penguasa di bidang politik.
5.      Kaum elit dan kelompok intelektual yang mendapatkan pendidikan di luar negeri tidak akrab dengan masyatakat luas.
6.      Pendidikan ada kalanya dipakai sebagai instrumen penting bagi proses invasi kultural untuk menduduki dan menguasai kesadaran rakyat.
Adanya pendidikan pascakolonial memberikan dampak negatif pada pemikiran bangsa ini yang masih mengikuti bangsa asing dan begitupun pendidikannya. Setelah pendidikan pascakolonial(pascakemerdekaan) berakhir artinya bangsa ini telah merdeka, betul dilakukan perbaikan pola pikir dan konsep pendidikan bangsa ini tetapi hal itu masih sulit karena masih ada peninggalan pola pikir ala barat(asing) yang masih melekat pada bangsa ini. Harus ada perhatian penting dan paling utama dalam menjelaskan perjalanan pendidikan kita.
Pendidikan kita Harus mampu menjawab segala macam kesulitan yang dihadapi rakyat di masa pembangunan dan sanggup menanggapi tuntutan jaman. Sistem pendidikan Negara-negara berkembang yang baru merdeka dan belum lama melepaskan diri dari belenggu penjajahan, termasuk Negara Indonesia, hampir semuanya merupakan jiplakan dari model pendidikan luar negeri dan Negara penjajah di masa lampau.
Perbedaan yang ada antara pendidikan antara jaman kolonialis dan pendidikan pascakemerdekaan adalah apabila prakemerdekaan, pendidikan diabdikan utnuk penjajah dengan lahirnya banyak kebijakan pendidikan yang berpihak pada kolonialis, maka pascakemerdekaan, baik orde lama, orde baru, dan orde reformasi pun memiliki cirri khas masing-masing. Maka dari, akan dibahas pendidikan pada orde lama, orde baru maupun reformasi.
A.     Pendidikan Orde Lama
Pada orde lama pendidikan dibawah kendali oleh soekarno yang pada saat itu menerapkan konsep sosialisme menjadi rujukan dasar bagaimana pendidikan itu akan dibentuk, dijalankan, dan dilakoni dengan sedemikian rupa demi pembangunan dan kemajuan bangsa Indonesia di masa mendatang. Konsep sosialisme pendidikan saat itu, diberikan ruang bebas kepada setiap masyarakat untuk terjun dan  mendapatkan pendidikan serta tidak memandang kelas apapun dalam masyarakat.
Indonesia pada era tersebut sangat mendukung pendidikan sebagai satu akselerasi masyarakat menuju masyarakat adil dan makmur sesuai cita-cita UUD 1945. Bahkan mampu mengekspor guru ke Negara tetangga, menyekolahkan ribuan mahasiswa ke luar negeri dan menyebarkan mahasiswa ke penjuru negeri untuk mengatasi buta huruf. Hal itu memberikan hasil yang sangat luar biasa pada tahun 1960an dan banyak perguruan tinggi di bangsa ini. Para pengajar saat itu menjadi primadona pekerjaan bagi rakyat. Tidak ada halangan ekonomis yang merintangi seseorang untuk belajar di perguruan tinggi atau sekolah. Diskriminasi dianggap sebagai tindakan kolonialis (seperti dilakukan kolonial belanda).
Sungguh pendidikan saat itu sudah membuahkan hasil. Panggilan-panggilan terhadap orang baik yang sudah berumur maupun belum, disamaratakan dengan sebutan “Bung”. “Bung” merupakan pengganti sebutan orang yang tidak mengenal strata kelas, status, dan umur. Inilah orde ketika semua orang merasa sejajar, tanpa dibedakan warna kulit, keturunan, agama, dan sebagainya.
Di dalam kampus muncul kebebasan akademis yang luar biasa, ditandai dengan fragmentasi politik yang begitu hebat di kalangan mahasiswa. Adanya kebebasan berorganisasi sesuai dengan pilihan dan keinginannya. Kebebasan berpendapat, walaupun sempat muncul pembredelan pers oleh soekarno, namun relative baik ketimbang masa Orde Baru yang pada saat itu. Inilah era keemasan bagi gagasan dan ilmu pengetahuan di Indonesia. Pada orde lama banyak lahir pemikir-pemikir sebab ruang kebebasan betul-betul terbuka.  
Pada tahun 1945 setelah masa kemerdekaan dilewati, pendiikan nasional mulai meletakkan dasar-dasarnya. Walaupun segakanya masih serba terbatas, pendidikan digratiskan. Uang SPP sama sekali ditiadakan. Saat itu diberlakukan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950 jo undang-undang nomor 12 tahun 1954 untuk mengatur sistem pendidikan nasional. Sistem yang digunakan masih model yang lama (kolonial). Untuk lebih meningkatkan mutu pendidikan tersebut, selanjutnya pemerintah pun mengambil langkah strategis lainnya yakni, mendirikan universitas di setiap provinsi, seperti Universitas Indonesia(UI), Institut Pertanian Bogor(IPB), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Gajah Mada (UGM), dan Universitas Airlangga(UNAIR). Tujuan awalanya tentu saja untuk pemerataan kesempatan belajar bagi semua lapisan masyarakat. Tentu dengan adanya perguruan tinggi tersebut memberikan ruang dan tempat yang ukup cemerlang bagi pendidikan anak-anak bangsa di negeri ini.
Tidak ada politik telingkung dan melingkung terhadap hak setiap warga Negara Indonesia untuk mendapatkan haknya dalam pendidikan. Tidak ada tekanan politik apapun agar masyarakat Indonesia tidak belajar pendidikan. Alih-alih pendidikan bertujuan untuk menerdaskan kehidupan, maka era Orde lama betul-betul menjalankan hal tersebut secara tegas dan konsisten.tidak menjadi retorika politik an sich sehingga ketika ruang untuk mendapatkan hak berpendidikan diberikan dengan sedemikian lebar dan luas terhadap siapapun dan pihak manapun sebagai warga begara Indonesia, bangsa ini bisa keluar dari lubang kebodohan dan kepandiran.
Orde lama bukan hanya memberikan suatu dampak yang positif bagi bangsa ini saat itu tetapi tentu ada kelmahan-kelemahan atau dampak negatif bagi bangsa ini. Adapun kelemahannya adalah masih adanya nuansa pendidikan kolonialis yang dibangun sebab, diakui maupun tidak, bangsa Indonesia saat itu masih sedang mengalami transisi sangat tinggi, baik secara politik, budaya, mauun ekonomi. Tetapi ini sudah merupakan prsetasi yang terbaik bagi bangsa ini . kendali pemerintahan orde lama di bawah soekarno mampu bersikap cepat, tangkas, dan cekatan bagaimana harus melakukan pembenahan-pembenahan dalam pendidikan sebab ini adalah alat meletakkan landasan dan prinsip hidup bangsa ini ke depan.
Dengan kata lain ketika pendidikan dijadikan alat paling untuk mengubah bangsa, maka ini diniscayakan akan mengubah bangsa itu. Semua masyarakat menjadi terdidik dan memiliki gagsan-gagasan cemerlang bagaimana menghadapi dan melihat masa depan pascakemerdekaan.
B.     Pendidikan Orde Baru
Soekarno lengser dari tampuk kekuasaan dan soeharto naik menjadi presiden, maka disitulah Orde Baru mulai melahirkan dan menggelar kebijakan-kebijakannya, termasuk pula dalam dunia pendidikan. Orde baru berlangsung dari tahun 1968-1998. Dalam era ini, dikenal sebagai era pembangunan nasional. Terjadi suatu loncatan yang sangat signifikan bagi pendidika saat itu dengan adanya instruksi Presiden (Inpres) Pendidikan Dasar. Akan tetapi, saying sekali Inpres Pendidikan dasar belumditindaklanjuti dengan peningkatan kualitas tetapi baru meningkatkan kuantitas.
Selain itu, sistem ujian Negara yang disebut Evaluasi belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS) telah berubah menjadi boomerang, yaitu penentuan kelulusan siswa menurut rumus-rumus tertentu. Akhirnya tiap-tiap lembaga pendidikan sekolah berusaha untuk meluluskan siswanya 100 persen. Era orde baru telah dijadikan sebagai indicator palsu mengenai keberhasilan pemerintah dalam pembangunan. Dari hasil manipulasi ujian nasional sekolah dasar, kemudian meningkat ke sekolah menengah pertama, kemudian meningkat lagi ke sekolah menengah tingkat atas, dan selanjutnya berpengaruh pada mutu pendidikan tinggi. Walaupun pada waktu pendidikan tinggi memiliki otonomi dengan mengadakan ujian masuk melalui UMPTN, tetapi hal tersebut tidak menolong.
Pada akhirnya hasil EBTANAS juga dijadikan indicator penerimaan di perguruan tinggi. Untuk meningkatkan mutu pendidikan tinggi, maka pendidikan tinggi negeri mulai mengadakan penelusuran minat dari para siswa SMA yang berpotensi. Lebih runyam lagi, manipulasi nilai dan bahkan pemalsuan ijazah kelulusan marak terjadi demi mendapatkan popularitas tertinggi bagi lembaga sekolahnya.
Disamping perkembangan pendidikan tinggi dengan usahanya untuk mempertahankan dan meningkatkan mutunya pada masa Orde Baru, muncul gejala, yaitu tumbuhnya perguruan tinggi swasta dalam berbagai bentuk. Apapun apologi yang disampaikan di era orde baru guna memajukan pendidikan yang menerdaskan dan mencerahkan, itupun hanya isapan jempol belaka. Sebab yang terjadi, pendidikan direkayasa dengan sedemikian rupa demi sebuah pencitraan tertentu.
Pendidikan orde baru juga telah melakukan kesalahan yang teramat besar, yakni menggelar ideology penyeragaman sehingga kemajuan pendidikan pun menjadi mampret. Megutip pendapat Darmaningtyas, pendidikan orde baru ibarat militer. Jiwa yang dikembangkan di sekolah umum sama dengan jiwa yang dikembangkan disekolah umum sama dengan jiwa yang dikembangkan di sekolah militer. Pendidikan yang militeristik itu sangat dirasakan oleh para guru, siswa, maupun masyarakat luas, melalui adanya ideologi penyeragaman, yaitu semua di seragamkan (dari soal pakaian, kurikulum, metode mengajar, sampai soal cara berpikir). Tidak ada ruang sedikitpun bagi berkembangnya keragaman pikiran, ideologi, budaya, suara, hingga tindakan selama masa Orde baru Berkuasa selama 32 tahun. Pendidikan sesungguhnya tidak ada, yang ada adalah indoktrinasi, santiaji, penataran, atau tutorial mengajari orang patuhdan menjadi penurut.
Prinsip dasar pendidikan pada umumnya adalah memberikan kemerdekaan (otonomi) melalui pendewasaan kepada setiap individu untuk mengambil keputusan. Pendewasaan dalam pendidikan berarti setiap individu mampu bertanggung jawab atas dirinya sendiri, bersikap toleran kepada orang lain, serta empati terhadap penderitaan. Ukuran keberhasilan pendidikan adalah sejauh mana proses pendewasaan pada setiap siswa itu dapat terjadi sehingga setiap individu yang berpendidikan tidak tergantung pada orang lain, melainkan hidup secara otonom (mandiri). Saling membutuhkan satu sama lain bukanlah suatu hal yang keliru, tetapi relasi yang mereka bangun adalah kesetaraan, tidak ada unsur dominative dan submisif antara satu dengan lainnya. Hubungan kesetaraan itu tidak mungkin terwujud dalam sistem pendidikan militer dan bersifat militeristik, seperti yang terjadi pada pendidikan kita sekarang. Kegagalan bangsa Indonesia dalam mengelolah kekayaan alam yang melimpah ruah dan hanya memunculkan berbagai kritik pada pendidikan. Pendidikan di anggap hanya mencetak orang-orang Indonesia yang “melempem” yang sok siap menerima tawaran bertarung di persaingan global, padahal daya saingnya rendah.
Selain penyebab gagalnya sistem pendidikan orde baru di atas, kesalahpahaman dan kerancuan memaknai kurikulum hanya sebagai materi pelajaran adalah dua hal yang dituding pula sebagai penyebab gagalnya sistem pendidikan di negeri ini. Orde baru adalah orde pembangunan sehingga menjadi awal apabila pendidikan darahkan guna mendukung tujuan pembangunan nasional. Dengan kata lain, orientasi dari pradigma pembangunan itu terletak pada ekonomi, kemajuan teknologi, pesatnya industrialisasi, individualisasi, dan sekularisasi, yang melahirkan perombakan teori-teori ekonomi, teori-teori Negara, dan pola tingkat penguasaan ilmu pengetahuan dan kepentingan manusia lebih dari kemanusiaannya. Logika ekonomis teknologis, orientasi kebendaan, dan materialistis menjadi gaya hidup.
1.      Lahirnya para kuli
Salah satu tujuan pendidikan orde baru adalah mendukung pendidikan pembangunan nasional. Oleh karenanya, sangat wajar pula apabila produk-produk pendidikan diarahkan untuk menjadi pekerja. Setelah selesai dari bangku pendidikan, mereka masuk kedalam dunia kerja, siap menjadi kuli yang diperintah oleh atasan atau majikannya tanpa harus melakukan proses apapun. Bagi penguasa Orde Baru dengan segala kroni dan anteknya, produk-produk pendidikan adalah para pekerja fisik yang siap menyerupai mesin. Jika kita tahu mesin dan bagaimana kinerjanya, maka itulah tujuan pendidikan tujuan penddidikan yang diinginkan oleh orde baru. Ini sangat menakutkan dan menyeramkan. Pendidikan betul-betul tidak dijalankan sebagaimana mestinya demi penguatan harkat, martabat, dan kemanusiaan manusia sebagai makhluk yang terdidik dan berakal. Pendidikan hanyalah alat memuluskan kepentingan politik dan ekonomi golongan dominan yang memliki kekuasaan, jaringan kekuasaan dengan penguasa dan kelompok tertentu yang sedang memanfaatkan kekuasaan Orde Baru agar dapat ikut menikmati keuntungan politis dan ekonomis tersebut.

2.      Lahirnya kalangan terdidik Antirealitas
Beberapa strategi penting yang digunakan Orde Baru guna melahirkan tenaga terdidik atirealitas adalah sebagai berikut :
a.       Pelarangan adanya buku-buku aliran kiri, seperti sosialisme maupun marxisme.
b.      Segala bentuk kelompok diskusi yang berbau kasjian sosial kritis pun, terlebih lagi sosialisme dan marxisme, dilarang dijalankan oleh kaum muda yang sedang menimba ilmu atau pendidikan sebab ini bisa melahirkan sebuah golongan pemuda yang membahayakan sebuah rezim orde baru.
c.       Buku-buku yang menanamkan indoktrinasi Orde baru terhadap anak-anak muda bangsa justru dibolehkan beredar sebagai bacaan public sebab ini menjadi sebuah penguat dan penanam nilai-nilai politis kepentingan orde baru sehingga anak muda bangsa pun tercekoki dan dicekoki ideologi.
Oleh sebab itu, ketika hal-hal sedemikian sangat gencar dilakukan oleh penguasa Orde Baru, maka ini akan memudahkan untuk mengiring para pemuda Indonesia berlutut di kaki kepentingan politik rezim yang berkuasa sehingga alih-alih akan menjadi kritis dan peka terhadap persoalan-persoalan sosial, mereka justru tumpul dan buta terhadap persoalan-persoalan sosial yang dihadapi bangsanya.
3.      Demokrasi Yang Terpanggang
Satu hal yang cukup mengerikan dibawah kekuasaan orde baru adalah hilangnya kebebasan berpendapat. Demokrasi yang memberikan ruang sebebas-bebasnya dalam segala hal hal dikebiri. Demokrasi saat itu dipanggang diatas api panas kekuasaan politik rezim orde baru sehingga terbakar mati, tanpa sisa apapun kecuali tinggal abu saja. Ini sangat ironis. Saat itu, lahir kebijakan mengenai normalisasi kehidupan kampus/badan koordinisasi kemahasiswaan (NKK/BKK) dibawah pemerintah secara langsung.
Sejak 1978, ketika NKK/BKK diterapkan di kampus, aktivitas kemahasiswaan kembali terkonsentrasi di kantung-kantung himpunan jurusan dan fakultas. Mahasiswa dipecah belah dalam disiplin ilmunya masing-masing. Ikatan mahasiswa antarkampus yang diperbolehkan juga yang berorientasi pada displin ilmunya, misalnya ada ikatan Senat Mahasiswa Ekonomi Indonesia(ISMEI), ikatan Senat Mahasiswa Pertanian Indonesia (ISMPI), dan sebagainya. Lahirnya kebijakan NKK/BKK telah memasung kebebasan kampus sebagai tempat mahasiswa belajar berdemokrasi sehingga ini telah merusak misi pendidikan sesungguhnya, yaitu sebagai alat pembebasan dan pemerdekaan manusia dari segala bentuk penindasan, termasuk penindasan kebebasan berpendapat melalui kebijakan NKK/BKK.
Kampus menjadi penjara bagi mahasiswa untuk melakukan aktualisasi terhadap segala bentuk potensi dan bakat yang dimilikinya sehingga ini kemudian menjadikan mereka mandul, tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali hanya diwajibkan untuk dating ke ruangan kelas, duduk manis mendengarkan ceramah dosen, mengerjakan tugas yang diberikan oleh dosen dan begitu seterusnya. Lahirnya NKK/BKK telah merusak cita-cita pendidikan yang memperjuangkan hak-hak sipil setiap warga Negara yang disuarakan oleh demokrasi.
Pendidikan tidak lagi menjadi pembangunan kesadaran politik dalam berdemokrasi maupun berpendapat dalam segala bentuk apapun. Pendidikan hanya menjadi “sapi perahan” kelompok elit untuk ditunggangi kepentingan-kepentingan politis sectarian tertentu. Birokrasi Negara mulai dari pusat hingga daerah mampu memiliki suara yang sama dalam menjalankan kebijakan tersebut. Bahkan ketika masuk dan memasuki dunia kampus, ketika masuk dalam birokrasi rektorat, tidak ada protes apapun sama sekali, seolah sudah dihipnotis secara politis oleh penguasa.
Ini sebuah realitas yang terjadi saat itu. Oleh sebab itu, ketika kondisi demokrasi dalam dunia pendidikan sudah tercerabut dan dirampok oleh penguasa Orde Baru, maka ini sesungguhnya menjadi satu tolak ukur bahwa pendidikan saat itu hanya dijadikan alat memuaskan nafsu politik kekuasaan penguasa. Pendidikan yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi sangat diharamkan untuk dijalankan. Pendidikan yang meneriakkan antipemasungan beroendapat telah menjadi omongan belaka yang tidak berbanding lurus dengan relaitas sosial saat itu. Lebih tepatnya orde baru telah membunuh demokrasi dalam pendidikan demi menjalankan misi politik kekuasaan dan penguasaan represif.
C.     Pendidikan Orde Reformasi
Salah satu gerbang utama yang telah memaksa soeharto yang disebut pengusa Orde Baru lengser dari tampuk kekuasaan selama 32 tahun adalah peristiwa reformasi, yang digelar oleh mahasiswa tanggal 21 Mei 1998. Romy Beny Susetyo mengatakan bahwa era reformasi telah memberikan ruang cukup besar bagi perumusan kebijakan-kebijakan pendidikan baru yang bersifat reformatif dan revolusioner. Kurikulum pun bukan lagi hafalan sebagaimana yang dikritik secara tegas oleh Paulo freira, yakni ala banking, namun kurikulum pendidikan pun menjadi berbasis kompetensi dengan segala anak pinaknya.
Dalam program pembangunan nasional (propenas) 1999-2004, diakui bahwa manajemen pendidikan nasional selama ini secara holistik sangat sentralisasi sehingga ini mentup dinamika demokratisasi pendidikan. Diakui maupun tidak manajemen pendidikan yang sentralistik akan menyebabkan dan melahirkan kebijakan uniform (seragam) yang tidak mampu dan tidak bisa mewadahi segala perbedaan, keberbedaan, atau heterogenitas kepentingan setiap daerah/sekolah/peserta didik. Ini kemudian mematikan partisipasi mesyarakat dalam proses pendidikan serta mendorong terjadinya pemborosan dan kebocoran alokasi anggaran pendidikan.
Oleh karenanya, penguasa reformasi pun berupaya memformulasi arah kebijakan pembangunan pendidikan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (199-2004) sebagai berikut :
1.      Menguapayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memeroleh pendidikan yang bermutu tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia menuju terciptanya manusia Indonesia berkualitas tinggi, dengan peningkatan anggaran pendidikan secara berarti.
2.      Meningkatkan kemampuan akademik dan professional serta meningkatkan jaminan kesejahteraan tenaga kependidikan sehingga tenaga pendidik mampu berfungsi secara optimal terutama dalam peningkatan pendidikan watak dan budi pekerti agar dapat mengembalikan wibawa lembaga dan tenaga kependidikan.
3.      Melakukan pembaruan sistem pendidikan termasuk pembaruan kurikulum pembaruan.
4.      Memberdayakan lembaga pendidikan baik sekolah maupun luar sekolah sebagai pusat pembudayaan nilai,sikap dan kemampuan.
5.      Meningkatkan kualitas lembaga pendidikan yang diselenggarakan baik oleh masyarakat maupun pemerintah.
6.      Mengembangkan sumber daya manusia sedini mungkin secara terarah, terpadu dan menyeluruh melalui berbagai upaya proaktif dan reaktif oleh seluruh komponen bangsa.
7.      Meningkatkan penguasaan, perkembangan, dan pemanfaatan ilmu pengetahuan, dan teknologi.
Adanya sejumlah kebijakan pendidikan yang telah dilahirkan di era reformasi masih menjadi sebuah teori belaka yang tidak mampu dijalankan berhasil dalam implementasi pendidikan yang betul-betul menyentuh kehidupan rakyat Indonesia. Kebijakan pendidikan yang disebut akan diserahkan kepada daerah dalam mengurus dan mengurusi pendidikan terkadang setengah-setengah sehingga hasilnyapun sangat mentah dan tidak melahirkan satu kebijakan hakiki pendidikan. Anggaran pendidikan pun demikian. Karena masih ada factor tarik menarik sangat tinggi antara pusat dan daerah, maka penganggaran pendidikan pun tidak sesuai dengan amanat UUD 1945. Lebih ironsi lagi, sudah mulai muncul kesan di tengah public bahwa ketika pendidikan diharapkan mampu dinikmati seluruh lapisan kelas sosial yang disebut pemerataan pendidikan, maka pendidikan menjadi mahal dan tidak terjangkau.
Kurikulum pun yang selalu berganti dari setiap pemerintahan pascareformasi. Seolah, pendidikan menjadi sebuah kelinci percobaan dari setiap fase penguasa tertentu. Pendidikan menjadi tumbal dan korban kepentingan para elit pendidikan di tingkat birokrasi kekuasaan yang terus berupaya mencoba-coba sebuah konsep pendidikan tertentu untuk dijalankan.
1.      Menggiring Pendidikan Ke lokalitas
Awal munculnya kebijakan-kebijakan pada era reformasi menjadi harapan bersama bahwa pendidikan bisa ditangani setiap daerah yang mengetahui secara persis persoalan-persoalan lokalitas yang terjadi di wilayahnya sehingga tujuan pendidikan betul-betul sesuai dengan tujuan yang dikehendaki di setiap daerah tertentu, namun tanpa menghilangkan tujuan pendidikan nasional. Akan tetapi kenyata berbicara lain. Kebijakan tersebut hanya menghilangkan tujuan pendidikan yang sebnarnya. Karena adanya raja-raja kecil, maka tujuan pendidikan di setiap lokalitas tertentu kemudian diarahkan sesuai dengan kepentingan politis raja keil tersebut, bukan lagi sebangun dengan potensi yang sedang berkembang di daerah terkait. Pendidikan bukan lagi dilihat sebagai pengembangan, pembangunan dan pemajuan potensi lokalitas tertentu agar berdaya dan bisa diberdayakan dengansedemikian maksimal dan optimal untuk ikut serta memajukan tujuan pendidikan nasional.
Bila di era orde baru, uang Negara dikorupsi oleh elit penguasa, maka di era reformasi ini, uang Negara yang berada di kas daerah pun rentan untuk dikorupsi oleh elit-elit penguasa daerah. Ini sudah persoalan yang cukup mengkhawatirkan. Oleh karenanya, hal penting yang kemudian perlu dicermati lebih detail dan serius adalah ternyata undang-undang tersebut sarat dengan kebocoran anggaran daerah bisa saja dimasukkan kekantong-kantong elit penguasa daerah, sebut saja, dana untuk pendidikan mengalami hambatan, bila tidak disebut dengan kemacetan total.
Korupsi semakin meraja lela diberbagai lembaga-lembaga pendidikan di daerah-daerah pada era tersebut. Semuanya direkayasa sedemikian rupa mulai dari pejabat tinggi sampai pada guru-guru yang berada pada lingkungan sekolah. Pada tingkat sekolah mereka kemudian menegosiasikan persentase keuntungan dengan kepala sekolah dan guru. Kemudian, guru akan mewajibkan siswa membeli buku tersebut. Oleh karenanya bila disebutkan bahwa ketika pendidikan digirng ke lokalitas yang kemudian disebut pendidikan berbasis masyarakat diharapakan memberikan kemudahan dalam segala hal bagi anak didik, itu pun ibarat “panggang jauh dari api”. Akhirnya, ketika melihat potret tersebut, pendidikan di daerah mengalami salah urus dalam penganggarannya.
Hal-hal tersebut muncul karena daerah dengan segala aparaturnya tidak siap dengan segala kebijakan dalam bentuk perundang-undangan dalam mengelolah sumber daya manusia di daerah masing-masing. Penyebabnya adalah karena keterkejutan budaya setelah selama 32 tahun mengalami ketersumbatan ruang untuk menggunakan wewenang di daerah dalam menjalankan kebijakan sehingga terlena dan terseret pada kepentingan-kepentingan sektoral tertentu atau sumber daya manusia yang menjadi pemimpin belum mapan secara kapasitas intelektual, manajerial, dan lain seterusnya.
2.      Menggugat Desentralisasi Pendidikan
Amanat reformasi dalam dunia pendidikan adalah mewujudkan pendidikan yang berbasis lokalitas-lokalitas tertentu. Kebijakan pendidikan harus sebangun dengan kebutuhan dan kepentingan local, bukan lagi diseret kepada kebijakan pusat yang jarang memerhatikan potensi di daerah-daerah. Otonomi atau desentralisasl, termasuk dalam dunia pendidikan, merupakan salah satu tema pokok reformasi politik Indonesia pascapemerintahan soeharto. Desentralisasi adalah melepaskan diri dari pusat. Otonomi adalah pemerintahan sendiri.
Menurut para pakar, desentralisasi pendidikan pascareformasi dengan lahirnya paket UU No.22 tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 dengan segala anak pinaknya tidak memiliki perncanaan yang jelas dan terarah. Kebijakan ini hanya lebih dilihat sebagai buah kekagetan politik ketimbang keinginan untuk mengatur administrasi pemerintahan yang demokratis. Yang jelas daerah sangat tidak siap dalam pelbagai segi dengan gelombang otonomi daerah, termasuk dalam dunia pendidikan. Akibatnya dalam perjalanannya pun mengalami ketersendataan yang cukup fatal.
Namun kendatipun demikian, kita masih menyaksikan sentralisasi kebijakan, atau lebih tepatnya, resentralisasi yang kurang disadari maupun memang sudah disadari, tetapi seolah tidak menyadari hal itu. Maka dengan memerhatikan kepentingan pemerintah pusat di bidang pendidikan yang bersifat pengaturan dan penetapan standarnisasi pengelolaan baik kurikulum, kompetensi siswa, penilaian hasil belajar, maupun yang lain-lain. Dapat dibayangkan betapa banyak tugas yang tiba-tiba bisa saja harus diemban.
Kita merasakan adanya ketidakpuasan pusat dalam menyerahkan kewenangan kepada daerah dan kita merasakan adanya ketidakpastian secara kelembagaan maupun pelaksanaan kebijakan  daerah. Beberapa kasus menunjukkan semua serba kaau dan carut marut. Sebut saja contoh yang paling nyata di depan mata kita adalah penentuan kelulusan siswa baik sekolah menengah pertama(SMP), sekolah menegah Atas(SMA), dan sederajat yang sangat rancu. Dalam konteks ini, pemerintah menetapkan bahwa kelulusan itu meliputi tiga hal. Pertama adalah evaluasi belajar siswa yang ditentukan sekolah. Kedua adalah perilaku siswa. Ketiga adalah hasil belajar hasil akhir yang di jalani melalui ujian nasional (UN). Secara ideal, hal itu sangat menjadi harapan. Namun dalam konteks kenyataan, kedatipun para siswa sedah lulus baik poin pertama dan poin kedua tetapi gagal pada poin ketiga, maka mereka dinyatakan gagal total (tidak LULUS). Akan tetapi, apabila mereka gagal di poin pertama dan kedua dan lulus di poin ketiga mereka tetap dinyatakan lulus sekolah. Oleh karenanya mencermati persoalan diatas, pemerintah dalam konteks desentralisasi kebijakan pendidikan yang digelarnya pun sangat tidak konsisten. Desentralisasi pendidikan yang didengung-dengungkan amanat reformasi belum mampu dijalankan secara serius oleh pemerintah.
Desentralisasi adalah hanyalah sebuah pencitraan politik pemerintah terhadap public agar terkesan reformis dan demokratis, padahal itu hanyalah kebohongan publik. Kebijakan desentralisasi tersbut hanyalah untuk mengelabui masyarakat dan bangsa ini bahwa pemerintah betul-betul menjalankan amanat reformasi dalam dunia pendidikan.
Penafsiran yang sempit mengenai makna otonomi dalam bentuk desentralisasi pendidikan telah melahirkan jalan berliku untuk mewujudkan desentralisasi yang hakiki. Oleh karenanya, diakui atau tidak, inilah realitas pelaksanaan desentralisasi pendidikan yang amburadul, tidak tepat sasaran dan justru semakin memburamkan tujuan pendidikan itu sebagai pembudayaan dan penanaman nilai-nilai pendidikan yang berbudaya dan berkeluhuran tinggi. Yang pasti, desentralisasi belum tepat disebut kebijakan pendidikan yang tepat sasaran sebab hasil pelaksanaannya selama ini tidak menunujukkan prestasi cukup luar biasa sebagai hasil pelaksanaan desentralisasi pendidikan.
3.      Liberalisasi Pendidikan
Salah satu tujuan lain amanat reformasi adalah teraksesnya pendidikan secara merata kepada seluruh  masyarakat Indonesia, tidak peduli apakah mereka berasal dari kalangan atas, menengah maupun bawah. Semua masyarakat mendapatkan dan menikmati dunia pendidikan secara layak.
Dalam beberapa kepemimpinan mulai dari B.J. Habibi, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarno Putri hingga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), belum ada seorang presiden yang secara serius mengawal pendidikan supaya bisa diakses oleh seluruh kelas sosial, termasuk mewujudkan anggaran pendidikan sebesar 20%. Kendatipun sekarang ini pemerintah dibawah kendali Susilo Bambang Yudhoyono kemudian akan menganggarkan dana pendidikan sebesar 20% APBN 2009, sebagaimana amanat undang-undang menjelang akhir masa kepemimpinannya pun masih sebatas rancangan yang belum tentu bisa direalisasikan sesuai harapan. Sebab pada umumnya, janji seorang politisi hanyalah janji yang penuh dengan kepentingan politisi tertentu dan bisa berubah sesuai dengan dinamika politik yang berlembang di masa mendatang.
Setiap satuan pendidikan diberi kebebasan penuh untuk mencari dana pendidikan  sendiri. Ketika ini terjadi, maka setiap lembaga pendidikan pun melakukan satu kebijakan elitis, yakni mematok biaya masuk berpendidikan dengan harga yang selangit dan sangat mahal. Dalam pandangan setiap penyelenggra pendidikan, uang sebagai tujuan paling utama untuk tetap mempertahankan keberlangsungan lembaga pendidikannya. Pendidikan kemudian diserahkan kepada pasar sehingga ketika berbicara pasar, maka hanya yang berduit saja yang bisa membeli pendidikan, sedangkan yang miskin secara ekonomi dan financial menjadi masyarakat terbuang dan kesulitan untuk dapat mengakses pendidikan. Mansour fakih berpendapat bahwa awal dari sebuah penyerahan barang ke pasar disebabkan pengaruh ideologi besar yang disebut liberalism. Liberalism asal muasalnya merupakan luapan aksi perjuangan kaum borjois menghadapi kaum konservatif. Secara lebih tegas, liberalism merupakan paham yang mempertahankan otonomi individu melawan intervensi komunitas. Ini juga bersangkut paut dengan dunia ekonomi. Liberalisme itulah yang kemudian berkembang dan berbuah neoliberalisme.
Aturan dasar kelompok neoliberalisme adalah neoliberalisme perdagangan dan finance, biarkan pasar yang menentukan harga, mengakhiri inflasi, stabilisasi ekonomi makro, privatisasi, dan pemerintah harus menyingkir menghalangi jalan. Oleh karenanya, terkait dengan otonomi pendidikan yang digulirkan pemerintah, ini sama halnya dengan membiarkan pendidikan diserahkan kepada pasar. Pendidikan telah diperjual belikan sehingga hanya kelompok yang berkantong tebal saja, yang kemudian bisa menikmati pendidikan,melenggang bisa bersekolah, mengenyam dunia pendidikan dan pintar sedangkan orang yang tidak mampu atau yang hidup dibawah garis kemiskinan dengan pendapatan yang sangat  pas-pasan hanya dapat bermimpi untuk mendapatkan pendidikan.
4.      Pemerintah Akses Pendidikan Hanya Sebuah Mitos
Apabila reformasi 1998 memberi amanat kepada setiap pemimpin bangsa guna memberikan ruang selebar-lebarnya kepada anak bangsa di seluruh negeri agar mendapat pendidikan yang layak dan bermutu, yang kemudian diperkuat oleh arah kebijakan pembangunan pendidikan dalam GBHN (1999-2004),dengan segala anak pihaknya, maka ini kemudian menjadi mitos belaka, yang tidak bisa dirasakan dan dinikmati oleh seluruh anak bangsa.
Pemerataan akses pendidikan menjadi sebuah jargon politik guna membohongi rakyat Indonesia dari sabang sampai marauke. Kenyataan yang terjadi adalah masyarakat miskin dan anak-anak orang miskin tetap mengalami kesulitan untuk menjamah dunia pendidikan. Jika kondisi seperti ini semakin menggila dan jumlah anak orang miskin yang tidak bisa menikmati dunia pendidikan semakin bertambah, maka timbullah disparitas social yang sangat tinggi.disparitas tersebut meliputi rentannya konflik social yang bersifat horizontal antara si miskin dan si kaya.ini kemudian menunjukan bahwa kepedulian dan komitmen politik pemerintah guna menjalankan tanggung jawab politik dalam pemerataan akses pendidikan masih ibarat menegakkan benang basah.namun dalam pemerataan pendidikan muncul saling tarik-menarik dalam pengambilan keputusan untuk membuka ruang akses pemerataan pendidikan dengan yang tidak setuju memberikan akses yang adil terhadap masyarakat, yang setuju,biasanya lebih banyak berasal dari kalangan penguasa di lingkaran eksekutif  yang bertindak sebagai eksekutor kebijakan agar tetap dicitrakan baik ditengah public.ini sangat jelas akan dilalui setiap masyarakat manapun yang terlanjur kecewa dengan kinerja pemerintah selama ini yang tidak becus mengurusi dunia pendidikan. Maka, pemerintah didepan masyarakat hanya sebuah formalitas saja karena kepercayaan politik kepadanya sudah hilang dan ditinggalkan seiring dengan sekian banyak kebohongan politik yang sudah dilakukan selama ini.
Pemerintah bukan lagi sekonyong-konyong memberikan stigma buruk bahwa mereka sudah tidak percaya lagi terhadap pemerintah selaku pengemban amanat rakyat.pemberian stigma buruk itu adalah sebuah kesalahan besar yang seharusnya tidak boleh dilakukan. Diakui maupun tidak, pendidikan adalah alat paling utama yang dapat menjalankan segala roda kehidupan bangsa-bukan politik, ekonomi, dan lain seterusnya-pun berada di awang-awang.oleh karena itu pemerintah dalam konteks ini pun harus mau mengubah sikap politik apabila menginginkan bangsa ini bangsa yang besar.dengan kata lain memiliki prinsip yang tegas  dan perjuangan guna mengubah bangsa ini dengan pendidikan, maka hal tersebut harus di jalankan dengan tugas, jangan setengah-tengah.belajar dari Negara-negara modern  yang memiliki kualifikasi demokrasi yang baik. Maka janji politik seperti pemerataan akses pendidikan secara adil menjadi beban politik yang bisa digunakan oleh masyarakat sebagai kata kunci guna menumbangkan atau tetap memertahankan pejabat tertentu.sebab mereka tidak mau dikibuli oleh para politisi yang memang terlalu potensial untuk selalu berbohong.
Oleh karenanya, sudah saatnya bagi pemerintah memberikan rumusan platform kebijakan yang berpihak kepada kaum lemah. Dan pemerintah juga harus merumuskan kebijakan yang komprehensif dan panjang guna memberikan akses pendidikan secara adil kepada masyarakat, khususnya bagi mereka yang berasal dari kalangan menengah kebawah karena ini sudah menjadi tanggung jawab dan amanat politik pemerintah untuk melaksanakan hal tersebut dengan sebaik-baiknya, bukan kemudian lari dari tanggung jawab serta amanat yang dipikulkan pada pundaknya. Oleh sebab itu, bila amanat kemudian tidak dijalankan maka pemerintah telah menghianati janjinya untuk menjalankan amanat tersebut.  

Baca juga tulisan menarik lainnya

0 komentar:

Posting Komentar